Rabu, 18 Januari 2012

menembus langit arasy

Aku menyakini yang namanya hidup, mati, rizki dan jodoh semua ada di tangan sang Ilahi, Tuhan yang esa yang mengetahui segalanya. Tapi tak dapat dipungkiri.. meski begitu tak ada salahnya berusaha meski  jodoh sudah digoreskan diatas langit Arasy.


Mendung di iringi suara petir,  atmosfir yang sama dengan kejadian 1 tahun lalu.. kejadian yang membuatku mengerti arti rasa sakit, rasa benci terhadap seseorang.. pada ayahku sendiri yang tega meninggalkan aku dan ibu dengan setumpuk hutang. Yang kemudian membuat ibu juga pergi meninggalkan aku selamanya karena sakit jantungnya yang kumat. Dan saat sebatangkara, menjadi korban pemerkosaan.  Dan kini, di usia 18 tahun aku berada di rumah yang dikelilingi orang – orang depresi seperti aku. Rumah sakit jiwa!
Aku tak pernah berharap apa – apa dalam hidup, semangat hidup ku telah sirna. Duduk terdiam diantara hembusan angin manja yang menerpaku. Sorotan mataku pun hambar menatap kosong sekelilingku.
“hai..” sapa seorang lelaki penghuni baru seminggu lalu  yang tak ku kenal
“.........” responku hanya membisu
“boleh duduk disini??” tanyanya padaku kemudian duduk disampingku. Responku hanya diam dan mematung.
“udaranya segar yah..?! tapi agak dingin..
Aku masih tetap pada posisiku, dan hanya membiarkan suaranya lewat dalam telingaku.
Dengan tersenyum kecut, dia memandang wajahku yang kaku dan mematung. Kemudian kembali melanjutkan kata – katanya “kamu gag kedinginan?? Namaku Rio,, namamu siapa?!
Aku yang terdiam dan mulai terganggu dengan kehadiranya, seketika aku berdiri dan tanpa berkata sepatah katapun aku meninggalkanya yang duduk tersenyum kecut melihat kepergianku.

***
              “kamu gag bertanggung jawab yah,, jangan tinggalkan ibu ayah!!!”.
terbangun!  Mataku kalap menatap sekitar. “Mimpi buruk lagi..” pikirku. Mataku menatap jam dinding yang berdetak. Jam menunjukan pukul 6 pagi. Kembali aku memejamkan mata lagi, tapi sia – sia ia tak mau terpejam. Dengan gontai aku bangun, mendekati jendela tanpa tau tujuan, hanya mengikuti langkah kaki. Dibalik kaca,tanpa sengaja terlihat. dia si orang asing itu selama seminggu ini selalu tersenyum menatap mentari pagi yang mengintip perlahan. Ada rasa penasaran dalam benak, apa yang dia lakukan?? Tersenyum pada mentari?! Atau dia justru mengalami depresi berat melebihi aku?? Pertanyaan itu terus bergumul dalam benaku. Seperti tau sedang diperhatikan Dia menoleh dengan spontan, tanpa sengaja mata kami bertemu, dengan cepat aku membuang muka dan kembali ketempat tidurku.
              “Arti,, ayo makan dan minum obat, baru nanti jalan – jalan yah” sergah  suara suster ika yang sudah berada dikamarku dengan tiba – tiba. Perawat yang memungutku dari emperan  jalan, terkapar  tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka, baju yang koyak sana sini. Aku tak pernah bicara, hanya menganguk menberi isyarat. Entahlah kedua bibirku enggan untuk bergerak.
              “arti, ibu tinggal ya..” ucap suster ika setelah selesai menyuapi aku dan menyuntikan obat-obatan yang aku juga tak tau itu obat apa. Aku hanya mengangguk melihat suster ika pergi.
              “Ssst.. Ssstt..”
Aku menoleh perlahan menuju asal suara, dari balik pintu muncul dia si lelaki asing. Dia mendekat, dan tanpa kata – kata menggandeng tanganku dan mengajaku pergi. Aku hanya diam dan tak memberontak, aneh pikirku,, kenapa aku tak berontak saat dia orang yang tak kukenal mengajaku pergi. Berlari kecil melewati batas pagar rumah sakit, perlahan Langkah kami berhenti dipohon besar yang didepanya mengalir sungai kecil dengan arus yang tenang.
Menatap lembut kewajahku sambil menunjuk ke sungai “bagus yah? Tenang seperti wajahmu..”
Aku terdiam menatap wajahnya, entah perasaan apa ini seperti mulai muncul gairah hidup yang bergejolak dalam darahku, perlahan kudekati sungai itu, kusentuh air yang mengalir. Kaget! Seperti itu hal baru  yang aku lakukan. Dia melihatku dengan tersenyum, mendekatiku, meraih tanganku, dan bersama tangan kami berdua bermain melawan air sungai dari hilir. Aku tersenyum,, terus ku lakukan hal itu, dia menemaniku dan sesekali menariku saat aku hampir terpleset masuk kesungai.
              “main airnya sudah cukup ya?? Nanti masuk angin.. duduk di situ yuk..” katanya sambil menarik lenganku.
Respon terbaiku hanya tersenyum dan menggangguk.
              “kenapa gak mau bicara?! Kalau bicara itu menggunakan kata,, dan setiap kata itu mengandung nyawa lho?!”
              “ ayo deh coba bicara,, ji.. wa.. bisakan?”
Aku hanya tertawa melihat  dia menuntunku dengan serius. “bisa ketawa jug yah??” godanya
Aku menundukan kepalaku, ada perasaan ganjil ketika dia bicara begitu.. aku terganggu! lalu aku bangkit untuk pergi meninggalkan dia. Dia kaget dan mengejarku. Kupercepat langkahku, dan dia berlari cepat untuk menyusulku. Menarik lenganku dan aku menghempaskan lenganya. Dan segera aku kembali ke kamarku. Merebahkan diri dan mencoba tidur. Dia muncul di kamarku, dan berkata “ maaf,, nanti mau main lagikan?” aku tak mengindahkan dia. Perlahan dia pergi.


***
Gludukkk...ggGluDuukk... suara petir malam ini membuat ku takut setengah mati, ingin ku berteriak tapi aku tak bisa!! Hanya bersembunyi dibalik selimut tebalku. Atmosfir ini sama persis dengan 1 tahun lalu, saat ayah pergi, ibu pergi dan lelaki bajingan yang merenggut mahkotaku!! Aku benci atmosfir ini! Benci! Benci! Muncul sungai kecil dipelupuk mataku.. aku takut! Takut!! Sambil terus mengerang memegangi kepalaku.
              “arti tenang,, tenang.. ada aku Rio tenang yaa..”
Tersadar, aku sudah dipelukan hangatnya, aku takut,, tapi aku merasa nyaman, semakin aku eratkan genggaman tanganku dibajunya.
              “tenang sudah nggak papa” jawabnya sambil mengelus rambut panjang ku yang berantakan. Aku terdiam, sambil menagis terisak. Perlahan dia menenagkanku, dan Perlahan aku mulai kehilangan kesadaran tidur dengan nyaman..

***
Cahaya matahari membangungkanku, dengan kaget aku terbangun melihat sekeliling. Mencari sosok pahlawan semalam yang menenangkan aku. Tapi yang ku jumpai hanya Kosong.. berlari aku menuju jendela berharap Rio ada di situ untuk menyapa mentari pagi seperti biasanya tapi, dia tak ada. Aku berlari keluar mengitari semua taman, dia tak tampak. Pandanganku tertumbuk pada pagar pembatas rumah sakit. Dengan sedikit berlari aku menuju tempat dimana Rio pernah mengajaku bermain air. Entahlah ada apa aku ini, hanya saja aku tak mau kehilangan dia. Sosok yang baru 2 hari aku mengenalnya. Tepat! Aku menemukanya duduk dibawah pohon itu, tapi dia tak sendiri ada wanita bersamanya, “suster ika” pikirku kaget. Aku mendekat perlahan agar keberadaanku tak diketahui. Terdengar pembicaraan mereka.
“bagaimana Rio??” tanya suster ika
Rio yang berurai air mata menjawab “saya siap menerima kekurangan Arti suster, dan saya juga siap bertanggung jawab atas hilangnya masa depanya sus..”
Betapa kagetnya aku..!! Ternyata Rio lelaki bejat itu! Kenapa.. kenapa aku tidak merasakanya!!
Kraakk.. bunyi ranting patah terinjak olehku, meraka berdua menoleh kearahku dengan kaget dan secara bebarengan memanggil namaku.
              “ARTI!!”
Mereka mendekatiku, terlambat! Aku sudah berlari meninggalkan mereka dengan kecewa dan perasaan takut, atmosfir itu muncul lagi, dengan tersandung – sandung aku berlari menuju ke kamar.
              Suster Ika mendekatiku, menyentuh pundaku. Tapi aku hempaskan tanganya dengan perasaan kecewa, kecewa pada suster Ika karena bersekongkol dengan bajingan itu! Dengan menangis terisak- isak aku berkomunikasi  dengan isyarat tangan “Mengapa suster membantu bajingan itu,, dia yang merampas masa depanku!!” suster Ika hanya menghela nafas sambil menggeleng – gelengkan kepalanya. Aku tak bisa terima alasan apaun! Tidak! Berontaku dalam hati. Aku terus mengerang - erang sejadi jadinya. Orang – orang datang mengelilingiku, aku makin kalap, mereka memegangiku dan menyuntikan sesuatu, sakit.. perlahan aku tak punya kesadaran lagi.

***
Putih.. semua serba putih.. “apa ini surga” pikirku konyol. Aku meoleh kesebelah kiri, ohh bukan ada  jendela. Lalu aku menoleh ke kanan. Ada Rio tertidur dengan kepala diatas kasur dan tubuh terduduk di kursi. Aku kaget aku mulai berontak!! dia bangun dan terkagetkan oleh suara ku. Peergi! Pergi! pergi! Tapi suara ku tak keluar.. aku melempar bantal dan semua yang dapat aku jangkau dan lempar. Dia tak mau pergi, malah berusaha mendekatiku dan memeluku dengan paksa. Aku berontak tapi aku mendengar dia menangis,, aku terdiam sejenak lalu berontak lagi dan ikut menagis bersamanya.
              “ada apa Rio??” tanya suster ika
Rio hanya menggeleng, melepaskan perlahan pelukanya dan pergi, suster Ika melihatku dengan miris, mendekat lalu mendekapku dalam pelukanya. Menata rambut dan bajuku yang berantakan.
              “makan ya Arti sayang” bujuknya. Aku tak menggubris..
              “Suster tau kamu marah, kamu ngira suster bantu Rio ya??”
Aku tetap tak menggubris diam mematung.
              “Rio bukan pelakunya..” terang suster ika datar
Dengan wajah penuh bingung aku bertanya dengan isyarat tangan lagi
              “tapi Rio bilang dia mau bertanggung jawab..”
Suster ika menggangguk
“iya tapi bukan dia, pelakunya adalah Ian adik Rio, Ian meninggal seminggu yang lalu akibat over dosis alkohol. Saat melakukan itu padamu dia juga sedang mabuk”
Aku terdiam mencerna kata – kata suster Ika yang mulai bisa kucerna.
              “Rio mau bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Ian..”
Aku menggeleng dan berkata dengan isyarat “aku bukan barang,, aku gak mau dikasihani..”
Sambil menangis aku melanjutkan kata kataku “ biarkan arti kayak gini, arti ini bukan mainan..”
              “Kamu bukan mainan saying..” sahut suster ika lembut
              “siapa yang bilang kamu mainan!” tiba – tiba Rio menyahut. Aku hanya diam
              “aku bilang mau bertanggung jawab, karena memang aku menyayangimu..” lanjutnya
              “aku akan melindungimu, semua ini salahku. Kalau aku bisa mendidik Ian kau tidak akan jadi seperti ini. Biarkan aku menebusnya..” katanya sambil menyentuh tanganku dan berlutut di hadapanku. Aku hanya menagis dan menagis, menarik tanganya agar dia berdiri lalu memeluknya. Suster Ika hanya tersenyum haru.

***
Malam ini mendung, tak terlihat bintang satupun pikirku..
              “jangan terlalu lama diluar rumah, nanti masuk angin” tegur Rio yang sudah menjadi suamiku. Aku hanya tersenyum dan menunjuk keatas, dengan bahasa isyarat aku berkata “tau nggak aku baru sadar,, ternyata.. namamu dan aku pasti tertulis menjadi jodoh di langit Arasy..”
Rio hanya tersenyum dan menggangguk.


Tuhan ternyata aku masih memiliki harapan..

9 komentar:

  1. Balasan
    1. iya saya setuju kalo serita ini bagus dan penuh hikmah. Benar sekali kalo rezeki, jodoh dan maut kita sudah ada yang atur yaitu Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

      Hapus
  2. wiisshh hebat mbak.. bagus nih ceritanya..
    makasih ya udah kunjungin blog saya.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahimm kagag ada gopek ni :P

      hehehee iyaa kembali kasih keep blogging :D

      Hapus
  3. Hanya 1 yang bisa ku ucap .....
    Siiiipppppppppppp

    BalasHapus